Oleh J Benny Dango Bupu (Benny Dake)
Harian Kompas kemarin (Jumat, 16 September 2016) merilis dua berita tentang Kopi, tentu dengan dua sudut pandang yang berbeda. Pada halaman depan, berisi ulasan tentang Festival Kopi Flores yang sedang berlangsung di Bentara Budaya-Jakarta (15 - 17 September 2016), sebuah jejak festival yang berupaya untuk mengangkat pamor kopi Flores.
Meski telah terkenal di manca negara, nyatanya kopi Flores belum banyak diminati oleh masyarakat Indonesia dalam konstelasinya sebagai sebuah branded oleh karena kopi Flores dijual atas nama kopi dari daerah lain yang dianggap lebih populer dan laris.
Dari total produksi kopi Flores tahun 2015, 70% dijual tengkulak Sumatera Utara, Aceh, Sulawesi Utara dan Jawa Barat tanpa menyandang nama kopi Flores. Keinginan yang kuat untuk mengangkat pamor itu jelas tersaji melalui judul : "Mari Menyeruput Indahnya Kopi Flores".
Bicara soal indah, maka lebih dari sekedar adanya selera/keinginan. Arti indah memang lebih sebangun dengan cita rasa dibanding selera/keinginan dan upaya untuk menjadikan kopi Flores sebagai sebuah branded adalah jembatan untuk menghadirkan cita rasa. Kekhasan adalah ujung tombak penanda adanya cita rasa yang berbeda dari jenis kopi dari daerah-daerah lainnya.
Hasil sensorial menunjukkan bahwa kopi Flores beraroma herbal, floral, spicy, peper dan rasanya pun tidak pahit ataupun sepat. Kekhasan ini lahir dari kebiasaan berlokasi tanam kopi di antara tanaman lain seperti cengkeh, pisang, nangka ataupun jenis tanaman lainnya.
Pada halaman lain, Kompas mengulas tentang sosok peracik kopi yang bernama Joas Layan, sangat terkenal seantero kota Ambon. Melalui caranya yg piawai meracik kopi, akhirnya Joas dikenal sebagai tokoh rekonsiliasi.
Pasca konflik Ambon pada tahun 1999, rumah kopi Joas menjadi tempat bertemunya pihak - pihak yang sebelumnya berseteru. Ia tahu betapa masyarakat Ambon tidak menginginkan pertikaian. Itu sebenarnya hanya rekayasa pihak-pihak tertentu untuk merusak kedamaian Ambon, kota yang kala itu tengah bergeliat menjadi kota maju di kawasan timur Indonesia.
Gubernur Maluku Karel Alberth Ralahalu yang memimpin Maluku sejak 2003 hingga 2013 bahkan mengakui peran Joas sebagai sosok yang berjasa mendorong rekonsiliasi secara alami di Ambon. Gubernur kerap mengajak para tamu, termasuk dari Jakarta, ke rumah kopi Joas.
Tahun 2003, saat konflik Ambon perlahan mulai reda, Alberth sempat datang ke rumah kopi itu dan secara khusus mengucapkan terima kasih kepada Joas. Dengan keramahan dan racikan kopinya, banyak orang bisa bertemu di zona perbatasan itu. Bagi yang tidak punya uang pun bisa diperbolehkan utang minuman. Itulah yang membedakan Joas dan sejumlah peracik kopi lain. Joas sudah melahirkan banyak peracik kopi hebat di Ambon.
Sebagian dari mereka sudah membuka usaha sendiri. Ia juga membantu mendirikan sembilan rumah kopi. ”Prinsipnya, semakin banyak rumah kopi, berarti semakin banyak orang bertemu. Semakin sering bertemu, semakin akrab dan persahabatan akan terjalin. Semua pasti aman,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar