Jumat, 18 November 2016

Frans Dorelagu: Ahok itu Sosok Fenomenal Sekaligus Kontroversial


JAKARTA (NTT Darita) - Fenomena Ahok, akhir-akhir ini dihantui citra buruk akibat tuduhan penistaan agama, menjadi kajian menarik bagi kalangan mahasiswa jurusan politik di kampus IISIP Lenteng Agung Jakarta Selatan.

Ahok, nama populer Basuki Tjahaja Purnama (Gubernur DKI Jakarta), diakui sebagai sosok yang fenomenal namun kontroversial, potret pemimpin yang gampang dijadikan korban permainan politik kelompok elit.

Frans Dorelagu, mahasiswa Fisip IISIP Jakarta semester terakhir, menilai Ahok dengan predikat fenomenal dan kontroversial telah menimbulkan kegamangan bagi partai politik yang mengusungnya. Akibatnya, partai politik pendukung tidak banyak membantu Ahok, karena sulit menguasai bola panas yang digulirkan enta ke mana.

Banyak pengamat politik pun memilih diam karena isu penistaan agama terlalu sensitif.

"Yang jadi keprihatinan kita adalah nilai-nilai demokrasi sudah bergeser menjadi demokrasi milik segelintir kelompok elit politik," ujar Frans saat diwawancara Redaksi NTT Darita hari ini.

Frans mengatakan, bersama Dr. Gun Gun Haryanto (Pengamat Komunikasi Politik), mahasiswa fakultas FISIP IISIP Jakarta telah mengadakan diskusi terkait pilkada DKI dan konsolidasi demokrasi pada Rabu (16/11).

Sementara pengamat CSIS, J. Kristiadi, tokoh pendidikan Anies Rasyid Baswedan, dan sosiolog etika politik Mahfudz Muqodar hanya senang bicara soal gagasan mengenai bangsa Indonesia yang dibangun oleh anak-anak muda dengan pandangan ke depan, membangun sinergi kaum muda menuju kepemimpinan bangsa.

Frans Dorelagu, dalam sambutannya di acara Rembug Pemuda Perindo dengan tema dialog “Membangun Sinergi Kaum Muda Menuju Kepemimpinan Nasional” pada 14 November 2016, juga menekankan pentingnya pendidikan politik bagi generasi muda. Frans adalah Ketua Bidang Pemberdayaan Pemuda Perindo Pusat sekaligus Koordinator Wilayah (Korwil) untuk DPP Pemuda Perindo NTT.

Dalam konteks fenomena Ahok, Frans menandaskan bangsa ini harus merefleksikan kembali ikhwal kebinekaan (keragaman) dan tunggal ika (satu dan utuh) untuk merespon fakta empiris kehidupan sosial masyarakat dewasa ini, yang berada di gerbang disintegrasi.

Suksesi kepemimpinan sesungguhnya adalah penyelenggaraan nilai nilai demokrasi, namun sebaliknya menjadi ajang pertarungan kepentingan kelompok, sekte dan individu yang berlabel sendi sendi demokrasi politik, jelas Frans.

"Pengalihan isu menjadi tren desain politik yang terlepas jauh dari fakta sesengguhnya. Akibatnya kita menjadi bangsa yang gemar menipu diri dan rakyat. Fakta ini menjadi klimaks dengan ketidakpuasan rakyat yang menjadi korban politik. Rakyat yang labil dan mudah dipolitisasi dipolitisir oleh kelempok kepentingan, sehingga semakin menuju ketidakteraturan yang akibatnya menuju disintegrasi bangsa."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar