Jumat, 15 Desember 2017

Wilfrid Yons Ebiet: Masih dimiskinkan, dibodohi, Rakyat perlu otonom pilih pemimpin


DEPOK (NTT Darita) - Indonesia masih dalam jajahan baru, dijajah oleh saudara-saudara sendiri yang masih berkuasa, dimiskinkan dan dibodohi, tulis Wilfrid Yons Ebiet dalam bukunya berjudul "Ambil Uangnya, Jangan Pilih Orangnya" terbit April 2013.

Ebiet, tokoh intelektual muda di Jakarta, asal NTT ini, memaparkan betapa pemerintah masih gagal mengurus republik ini sementara rakyat masih salah memilih pemimpin meski mengenal figur calon pemimpin.

Program beras untuk rakyat miskin (raskin), bantuan langsung tunai (BLT), bagi Ebiet, hanyalah pemanis. Faktanya masih ada fenonema nasi aking. Program pendidikan gratis tak banyak menolong karena biaya sekolah kian tinggi.

"Hari ini kita disebut sebagai bangsa yang besar jiwa korupsinya, besar semangat merusaknya, lemah menata kebaikan dan kesejahteraan rakyat," tulis Ebiet.

Partai politik (parpol), menurut Ebiet, sering dipakai sebagai kendaraan untuk menguras kekayaan rakyat. Korupsi di DPR makin ganas. Politisi instan juga makin banyak. DPR tidak peka lagi terhadap aspirasi konstituennya.

"Rubuhnya bangunan demokrasi Indonesia, langkanya menemukan politisi bermoral dan beretika, punahnya sikap tepaseliro, tenggang rasa dan budaya Kasih, serta meretaknya jalinan silaturahmi antar warga dalam masyarakat, merupakan tanda bahwa bangsa ini sedang mengalami krisis kehidupan berbangsa dan bernegara, tulis Ebiet.

Aktor politik dan aktor ekonomi, kata Ebiet, merajalela memburu rente di hampir semua lembaga negara. Aktor ekonomi berperan juga sebagai aktor politik yang dominan. Di DPR misalnya, sekitar 60% anggotanya adalah pengusaha.

Ebiet juga menggambarkan tentang wajah pengusaha yang sering berubah di arena politik dan kelihatan lebih berkuasa dari penguasa yang sedang memimpin. Politik nasional saat ini, jelasnya, telah menjadi semacam industri yang terus mengeruk laba dari berbagai celah di pasar politik, akibatnya masyarakat dan agenda kesejahteraan bangsa menjadi terabaikan.

Sementara itu, tulis Ebiet, di tengah belum terciptanya pemilih yang rasional, kandidat/calon kepala daerah dan legilatif seringkali menimbulkan modus politik uang dan relasi tidak sehat antara pengusaha, elit politik, dan kelompok preman yang seringkali berlindung atas nama organisasi kemasyarakatan.

"Politik sebagai industri, maka uang menjadi dewa dan mendominasi setiap pemilihan. Uang adalah indikasi kemenangan dalam pertarungan politik, uang bisa membeli suara rakyat, dan uang juga bisa membutakan mata rakyat," jelasnya.

Untuk itu, Ebiet berharap, rakyat jangan pernah memilih pemimpin karena sudah menerima sejumlah uang. Rakyat jangan pernah berhenti menuntut dan mengkawal setiap kebijakan pemimpin yang dipilih (fungsi kontrol). Dan rakyat perlu bersikap otonom, tanpa harus terpengaruh oleh propaganda dan hasutan dangkal sarat kepentingan.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar