Jumat, 11 Mei 2018

Mari Mengenang Marianus Sae: Antisipasi Terhadap “Pilkada Borjuis”di NTT (part 1)

Oleh Emilianus Yakob Sese Tolo *)

Ketika Marianus Sae (MS) ditangkap tangan oleh KPK pada tanggal 11 Februari 2018 di sebuah hotel di Surabaya, Jawa Timur, masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) memberikan reaksi yang jamak dan cenderung saling berseberangan.

MS ditangkap karena diduga menerima suap Rp4,1 miliar dari pengusaha lokal Wilhelmus Iwan Ulumbu. Suap yang diberikan ini diduga bakal digunakan oleh MS untuk membiayi kerja politiknya dalam pertarungan untuk menjadi gubernur NTT, dan, karena itu, Wilhelmus Iwan Ulumbu diduga dijanjikan akan mendapatkan proyek senilai Rp51 miliar.

MS hingga hari ini masih ditahan oleh KPK, dan proses hukumnya masih sedang berjalan. Namun, terlepas dari persoalan hukum yang dijalankan oleh MS, saya ingin memberikan analisa di luar narasi yang dibangun oleh media mainstream sejauh ini. Sebab, bagi saya, penangakapan MS ini memiliki implikasi dan relevansi bagi masyarakat NTT dalam merespons “pilkada borjuis” di sebuah propinsi yang miskin di Indonesia.

Sebelum Ditangkap

Sebelum ditangkap KPK, MS dikenal sebagai bupati yang terkenal jujur, disiplin dan tidak tanggung-tanggung melawan korupsi di tubuh birokrasi di kabupaten Ngada, Flores, NTT. Selama memimpin Ngada, MS melakukan kebijakan-kebijakan yang progresif seperti penghematan dan pemotongan biaya birokrasi yang tidak perlu.

Misalnya, ketika diselenggarakannya Tour de Flores pada tahun 2016 yang menggerogoti anggaran APBD pemerintahan daerah di Flores untuk kepentingan pembalap internasional dan panitia yang adalah rombongan orang kaya Flores di Jakarta, MS adalah satu-satunya bupati di Flores yang menolak mati-matian kegiatan Tour de Flores dan tidak bersedia memberikan anggaran dana yang ditetapkan sebesar Rp1,5 miliar, yang dianggapnya sebagai bagian dari pemborosan dan penindasan terhadap rakyat kecil.

Salah satu penghematan itu digunakan untuk mengirim puluhan siswa dan mahasiswa berprestasi di Ngada untuk menjadi calon birokrat masa depan, dosen, dan dokter. Dengan program Beasiswa Anak Desa, menurut MS yang diwawancara Frans Obon, wartawan Flores Pos, pada tahun 2012, menjelaskan demikian: “[a]nak-anak miskin disaring di kecamatan. Untuk studi kedokteran, kita rekrut 1 orang tiap kecamatan. Tiap tahun kita kirim 9 orang. Kalau 5 tahun, kita sudah ada 45 calon dokter.

Selama ini, untuk anak miskin, masuk perguruan tinggi itu sesuatu yang ‘abstrak.’ Apalagi untuk jadi dokter. Ketika ruang ini kita buka, ternyata mereka mampu. Ada kebanggaan. Anak orang miskin, dari rumah reot, bisa jadi dokter.” Banyak siswa dan mahasiswa yang dikirim pemerintah Ngada yang sudah lulus studi masternya kembali mengabdi di kampus daerah di Ngada. Begitu juga tenaga dokter yang sudah dan sedang dikirim akan segera kembali mengabdi di daerah.

Sebelum penangkapan yang dilakukan oleh KPK, karena prestasi yang sudah dibuktikan MS di kabupaten Ngada, PDIP harus rela menyingkirkan kader-kadernya yang lain, yang umumnya minim, jika tidak dikatakan nihil, prestasi dalam membangun NTT. PDIP tak ragu-ragu memilih MS, yang sebelumnya adalah kader PAN, untuk bertarung di pilkada gubernur NTT mendatang.

Terlepas dari kualitas seorang MS yang sudah “membius” banyak pihak, persoalan mencari pemimpin yang benar-benar berani bekerja untuk rakyat di NTT memang tak mudah. Maka tidak heran jika Megawati, ketika menetapkan pasangan yang diusung dari PDIP, mengatakan demikian: “kok cari pemimpin susah. Akhirnya ketemu deh, Bupati Ngada. Dia namanya Marianus Sae.”

Bagi PDIP, selain prestasi-prestasinya membangun kabupaten Ngada, MS dianggap sebagai “sosok seorang pekerja keras, mempunyai leadership yang cocok dengan karakter masyarakat NTT yang plural dan keras.”

*) Penulis adalah mahasiswa S2 UGM Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar