Jumat, 11 Mei 2018

Mari Mengenang Marianus Sae: Antisipasi Terhadap “Pilkada Borjuis”di NTT (part 2)

Oleh Emilianus Yakob Sese Tolo*)

Reaksi Masyarakat

Namun, peristiwa penangkapan MS oleh KPK membuat masyarakat NTT, terutama masyarakat kecil, terkesiap dari mimpi-mimpinya yang sudah terlanjur melekat dalam ingatannya tentang sosok MS sejauh ini. Ketika mendengar MS ditangkap KPK, misalnya, sekelompok rakyat kecil di kampung Ramba, salah satu pelosok di kabupaten Ngada, yang berbatasan dengan desa Tedamude Nagekeo, meratapi penangkapan itu bagai kebiasaan orang Flores meratapi kepergian sanak saudaranya ke alam keabadian.

Masyarakat kecil dan miskin ini meratapi demikian karena ketika MS menjadi bupati, MS membangun jalan raya yang baik, membuka isolasi keudikan kampung Ramba yang sudah lama diabaikan sejak Indonesia merdeka. MS juga membangun embung desa untuk menyediakan air di musim kemarau bagi ternak dan pertanian rakyat kecil. MS menjadi satu-satunya bupati Ngada yang mengunjungi desa ini dengan naik motor ketika jalan raya ke kampung ini rusak parah. 

Selain itu, ketika terjadi penangkapan MS, saya sedang melakukan penelitian tentang perubahan agraria di Mbay, Nagekeo, Flores. Karena itu, saya mendengar keluh kesah para petani dan buruh tani di Mbay yang melihat figur MS sebagai harapan masa depannya.

Harapan mereka adalah agar apa yang terjadi di Ngada, kabupaten tetangganya, bisa juga terjadi di Nagekeo khususnya dan NTT umumnya. Misalnya, infrastruktur publik yang baik, terutama jalan raya yang menghubungkan desa dan kota, air bersih dan peluang untuk anak-anaknya yang berprestasi mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi, atau bahkan sampai menjadi dokter, tanpa ada diskriminasi,kolusi, dan nepotisme yang sejauh ini mereka ketahui di kabupatennya sendiri.

Sebab, tidak jarang, beasiswa-beasiswa di daerah di NTT umumnya dan di sekolah-sekolah di kabupaten di NTT kerap menyasar orang-orang yang dekat dengan rejim, kepala sekolah atau golongan menengah atas yang dekat dengan lingkaran kekuasaan. 

Begitu pula bantuan-bantuan alat-alat pertanian kerap kali lebih menyasar mereka yang dekat dengan rejim kekuasaan atau mereka yang pandai membuat proposal. Menurut orang-orang kecil ini, hal seperti ini jarang, jika tak boleh mengatakan tidak sama sekali, terjadi di Ngada selama kepemimpinan MS.

Namun, reaksi dari masyarkat kelas menengah atas, khususnya mereka yang berada pada jajaran birokrasi, dan para politisi yang akan bertarung di pemilihan gubernur NTT tentu berbeda. Kelas menengah di NTT, termasuk para intelektual, pada umumnya sepakat dengan penangkapan yang dilakukan oleh KPK.

Kalaupun mereka tidak setuju, mereka tidak berani berbicara seperti golongan rakyat kecil di muka karena, bagi mereka, KPK tidak pernah keliru. Memang dimana-mana, posisi kelas menengah cederung ingin bermain aman. Apalagi, kebijalan pro-rakyat kecilnya MS tidak terlalu bersinggungan langsung dengan kepentingan ekonomi politik kelas menengah di NTT.

Kelas menengah di kalangan birokasi, terutama yang merasa dirugikan oleh kebijakan-kebijakan pro-rakyatnya MS sejauh ini, tentunya sangat senang dengan penangkapan MS. Kebijakan-kebijakan MS yang merugikan birokrasi daerah sejauh ini adalah antaralain: pemotongan terhadap pengadaan alat-alat kantor yang cenderung fiktif, pengetatan anggaran dan proyek-proyek kegiatan birokrasi yang “kurang berguna” bagi rakyat kecil, pembatasan pemakaian mobil dinas untuk kepentingan pribadi, kebebasan birokrat berjalan-jalan dan berbelanja di pasar harian dan areal pertokoan Bajawa di jam kantor.

Misalnya, ketika sejak awal menjadi bupati Ngada MS memotong 75% perjalanan dinas tak berguna, yakni dari Rp28 miliar per tahun menjadi hanya Rp5 miliar per tahun. Selain itu, “[d]ari sebelumnya Rp24 miliar setahun, sekarang operational cost kendaraan dinas turun menjadi Rp3 miliar lebih. Penghematannya mencapai Rp20-an miliar.”

Apalagi MS, cenderung membangun relasi yang baik dengan kepala desa agar anggaran daerah langsung turun ke masyarakat akar rumput tanpa harus berbelit-belit dengan proses birokrasi di dinas-dinas pemerintah kabupaten yang cenderung korup.

Karena alasan-alasan inilah kelas menengah di kalangan birokasi baik di Ngada maupun NTT mungkin merasa senang dengan ditangkapnya MS oleh KPK. Birokrasi di NTT yang cenderung korup selama ini sudah mulai “cemas” ketika MS mencalonkan diri menjadi gubernur NTT.

Beberapa mahasiswa NTT yang sedang mengenyam studi baik di Indonesia maupun di luar negerimerasa takut ketika harus kembali ke birokrasi NTT saat studinya kelar karena mereka pasti akan “dilindas” oleh birokrasi yang koruptif itu. Birokasi yang koruptif itu tidak saja terjadi di birokrasi pemerintahan, tetapi juga di birokrasi kampus.

Serorang mahasiswi yang sedang menempu studi di luar negeri, mengaku enggan pulang ke salah satu kampusnya di NTT, karena selama bekerja di salah satu laboratorium penelitian di kampus itu, dia kerap menemukan prilaku koruptif, bahkan oleh dosen-dosennya yang sudah sempat mengenyam pendidikan di kampus-kampus ternama di luar negeri.

Kelas menengah di institusi politik, terutama mereka yang akan bertarung di pilkada gubernur NTT mendatang, tentu senang dengan ditangkapnya MS. MS merupakan saingan terberat pada pasangan-pasangan yang lain. Keberhasilannya memimpin Ngada di periode pertama dan dalam periode keduanya telah membuat banyak masyarakat NTT, terutama rakyat kecil tertarik dengan figur MS.

Apalagi, MS cenderung dekat dengan raykat kecil, sebab mungkin karena dia memang berasal dari kalangan rakyat kecil pertama dalam sejarah Flores, yang berhasil menjadi bupati di Flores, yang mana akan saya jelaskan pada paragraf yang lain.

Sebagai bagian dari rakyat kecil, komunikasi politik MS dengan rakyat kecil mungkin kelihatan lebih jujur jika dibandingkan dengan politisi yang lain di NTT, misalnya seperti yang terjadi pada debat calon gobernur dan wakil gubernur pertama kali ini.

*) Penulis adalah mahasiswa S2 UGM Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar