Jumat, 11 Mei 2018

Mari Mengenang Marianus Sae: Antisipasi Terhadap “Pilkada Borjuis”di NTT (part 3)

Oleh Emilianus Yakob Sese Tolo*)

Mengapa MS lebih Pro-Rakyat?

Sebelum pristiwa penangkapan oleh KPK, dalam bursa pertarungan pemilihan gubernur kali ini, banyak pihak dan berdasarkan surveymemprediksikan MS(-Emi Nomleni) menjadi satu-satunya pesaing kuat kali ini melawan tiga kandidat yang lain yakni Esthon-Chris, Benny K Harman-Benny A Litelnoni, Viktor Bung Tilu Laiskodat-Yosef Nae Soi. Kekuatan MS (dan Emi Nomleni) satu-satunya adalah prestasi yang telah dilakukan di Ngada, yang mungkin tak bisa dibeli dengan uang oleh ketiga pasangan calon gubernur yang lain.

Pertanyaannya, mengapa MS memiliki kebijakan politik yang lain, yang cenderung lebih pro-rakyat kecil, jika dibandingkan dengan para pejabat politik yang lain di NTT? Mengapa figur yang pro-rakyat ini bisa ditangkap oleh KPK?  Untuk menjawabi dua pertanyaan ini, saya menggunakan pendekatan ekonomi politik dengan melihat latar historis seorang MS, yang dijuliki oleh CNN Indonesia sebagai ’Ahok’ dari Flores.

MS adalah seorang anak  dari keluarga miskin. Tetapi, sebagai anak dari keluarga miskin, MS tetap bersekolah sambil bekerja sebagai buruh sampai tamat SMA Negeri, Bajawa pada tahun 1985. Di SMA, MS pergi sekolah di pagi hari dan sorenya bekerja sebagai buruh pencetak batu bata merah. Pada tahun 1986, MS ke Kupang dan bekerja sebagai buruh gedung SDI Kelapa Lima dan buruh penggali sumur. Kemudian MS kuliah di FKIP Undana Jurusan Administrasi Pendidikan, tetapi tidak lulus karena kesulitan biaya kuliah.

Kegagalannya di Kupang mendorong MS merantau ke Bali. Di Bali, MS bekerja sebagai cleaning service di perusahan salah satu perusahaan cargo sampai menjadi customer service. Dengan pengalaman yang ada, MS kemudian berani membuka usah ekspor impornya sendiri di Bali. Dari sinilah karir MS mulai menanjak naik. Ketika karirnya semakin naik, tahun 1994, MS diundang bupati Ngada kala itu Yoachim Reo untuk membangun Ngada. MS diajak pulang untuk membenahi tempat wisata air panas Mengeruda Soa dengan kontrak 30 tahun dengan biaya investasi sebesar Rp4 miliar.

Tahun 1997, ketika proyek pembangunan wisata air panas Mengeruda Soa hampir kelar, Joahanes Samping Aoh yang menggantikan Yoachim Reo meminta agar kontrak dibuat ulang karena MS pendukung Yoachim Reo. MS akhirnya bangkrut dan gulung tikar. Tahun 1998, MS kembali ke Bali dan bekerja lagi sebagai buruh di sebuah bengkel las. Tahun 2000, MS membangun usaha furniture-nya sendiri. Karirnya pun kembali naik. Pada tahun 2006, MS mulai berinvestasi di sektor produksi kayu di Flores untuk usaha furniture-nya. Tetapi MS tidak ingin bekerja sendiri, selain membeli tanah untuk menanam pohon, MS juga bagikan bibit pohon secara gratis kepada masyarakat Ngada.

Selain itu, MS kembangkan juga program yang dikenal Perak di kampung Zeu dan sekitarnya berupa memberi bantuan babi 400 ekor dan sapi 50 ekor kepada keluarga miskin (KK). MS menjeleskan demikian: “Sapi anak pertama untuk saya. Anak kedua untuk si KK miskin. Anak ketiga untuk saya. Anak keempat dan seterusnya untuk si KK miskin. Tahun 2008, saya luncurkankan lagi 150 ekor, jadi 800 ekor. Ini menyebar. Diberi cap MS. Dengan demikian mudah diawasi.”

Tahun 2008, MS masuk politik melalui partai PAN, dan akhirnya terpilih menjadi bupati pada tahun 2010 dalam pilkada yang terjadi hanya satu kali putaran saja. 

Pada tahun 2015, karena berasal dari golongan kelas bawah, pada pemilihan bupati Ngada periode kedua, lawan politiknya menghembuskan isu soal golongan kelas sosial traditional Ngada. Sebab, berdasarkan budaya politik Ngada, yang lebih pantas (berhak) memimpin hanyalah golongan kelas atas yang disebut gae, sedangkan golongan bawah seperti kelas gae-kisa (orang biasa, commoner) dan ho’o (hamba) tidak pantas memimpin. Namun, hal ini tak digubris masyarakat Ngada dan, karena itu, MS menang telak dengan meraup suara 78 persen dalam satu putaran saja di pilkada dimaksud. 

Berdasarkan penelitian saya tahun 2012, MS merupakan satu-satunya bupati di Flores yang berasal bukan dari kelas atas dalam struktur tradisional budaya Flores (lihat Table 1).  Karena itu, menurut saya, selain karena bukan berasal dari kelas atas dan pengalamannya menjadi buruh sejak muda membuat kebijakan-kebijakan politik MS lebih pro-rakyat.

Sebab, MS merasa menjadi bagian dari kelas bahwa karena MS sendiri lahir dan dibesarkan dari kelas bawah dalam struktur tradisional budaya Flores. Kebijakan-kebijakan MS sebagai bupati yang pro-rakyat inilah yang membuat banyak pihak, termasuk kelas menengah yang sudah lelah dengan budaya koruptif institusi birokrasi dan politik, mendorongnya menjadi gubernur NTT.

Tabel 1 Bupati di Flores dari 2005-2012


*) Penulis adalah mahasiswa S2 UGM Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar