Oleh Emilianus Yakob Sese Tolo*)
Pilkada Borjuis
Dengan kebijakan pro-rakyat yang ditunjukkan oleh MS selama masa kepemimpinannya di Ngada membuat banyak pihak, terutama rakyat kecil di NTT, cenderung melihat penangkapan MS dalam persiapannya menjadi gubernur NTT kali ini lebih merupakan persoalan politik dari pada persoalan hukum.
Tetapi tidak demikian dengan kelas menengah, terutama kelas menengah yang berasal dari partai politik yang berseberangan. Misalnya, politisi NasDem Kabupaten Ngada, Dorohtea Dhone berkomentar bahwa “KPK tangkap Pak Marianus Sae itu murni OTT.
Tidak ada kaitannya dengan politik, karena KPK itu lembaga independen. Tidak ada yang bisa intervensi KPK. Biar Presiden saja tidak bisa, sehingga jangan sembarang kait mengait dengan politik.
”Bagi saya, terlepas dari KPK adalah lembaga indepeden yang tak bisa diintervensi oleh lembaga apapun di Indonesia, termasuk presiden, penangkapan MS oleh KPK tetaplah persoalan politik, sebab “pilkada borjuis” yang mahal cenderung menyeret para pihak yang bertarung ke dalam politik uang.
Politik borjuis juga cenderung menghambat orang-orang tak berduit untuk bertarung dalam politik. Pada titik inilah, penangkapan MS merupakan sebuah persoalan politik. Pesoalan politik ini bukan saja berkaitan dengan MS sendiri, tetapi juga melibatkan masyarakat NTT seluruhnya yang akan mengalami efek negatif dari praktik-praktik “pilkada borjuis” yang licik.
Namun, dengan peristiwa penangkapan MS oleh KPK, masyarakat NTT mungkin berpikir bahwa jika MS ditangkap karena diduga menerima suap dari Wilhelmus Iwan Ulumbu untuk kerja politiknya dalam pertarungan pilkada gubernur NTT kali ini, maka hal itu diduga bisa saja terjadi untuk pasangan(calon) bupati dan gubernur di NTT di masa kini dan dulu, seperti halnya yang jamak terjadi di Indonesia.
Apalagi sekarang masyarakat NTT sedang menyongsong pesta demokrasi untuk memilih pasangan bupati dan gubernurnya. Pemikiran seperti ini mungkin tidak sepenuhnya keliru. Sebab, penelitian saya sejauh ini di Flores cenderung membenarkan pemikiran dan dugaan khalayak umum di atas.
Dalam penelitian saya di Flores tahun 2013, saya menemukan bahwa peran pengusaha dalam gelanggang politik uang dalam pertarungan pilkada adalah sesuatu yang sudah menjadi rahasia umum. Para pengusaha, terutama pengusaha besar, di Flores biasanya “menginvestasikan” uangnya ke semua pasangan yang bertarung di pilkada, tetapi mereka tetap cenderung membiayai lebih besar calon pasangan yang diduga kuat memenangi pilkada.
Penelitian saya di awal tahun 2018 di Flores juga menemukan hal yang sama bahwa suasana pilkada Nagekeo yang sedang berlangsung saat ini juga masih didominasi dengan politik uang untuk mendukung pihak-pihak yang sedang bertarung.
Sebab, menjadi bupati dan gubernur di NTT, yang adalah salah satu propinsi termiskin di Indonesia dengan biaya politik pilkada yang mahal, mungkin sulit terealisir jika para calon yang bertarung tidak bersandar pada bantuan dan sumbangan-sumbangan finansial dari pihak luar yang berduit, terutama para pengusaha. Karena itu, di NTT beberapa pihak mensinyalir, pilkada baik bupati maupun gubernur di NTT didanai oleh para pengusaha lokal dan investor tambang, perkebunan dan pariwisata.
Namun politik uang dalam pilkada seperti ini merupakan fakta yang sudah menjadi kebiasaan umum dalam gelanggang politik post-Soeharto di Indonesia hari ini. Karena itu, jika masyarakat NTT ingin pilkada yang bersih dan jujur agar bisa memenangkan calon pemimpin yang tumbuh dari kelas pekerja yang pro-rakyat, maka, di satu sini, masyarakat di NTT, harus melawan sistem “pilkada borjuis” yang mahal dan penuh dengan intrik licik yang koruptif. Di sisi lain, masyarakat NTT juga harus berupaya agar figur-figur pro-rakyatnya tidak sampai jatuh ke dalam permainan politik uang.
Salah satu cara yang dilakukan oleh masyarakat NTT adalah melawan praktik politik uang dalam bentuk apa pun, baik dalam masa kampanye maupun saat pencoblosan, di pemilihan umum di daerah, baik dalam pemilihan legislatif, bupati dan gubernur. Sebab, politik uang di NTT, seperti di sinyalir banyak pihak, tidak saja bersirkulasi di level elit di NTT, tetapi juga sudah menyebar ke level akar rumput masyarakat bawah.
Perlawan orang-orang kecil ini, jika dilakukan dengan serius dan masif, mungkin bisa mengurangi praktik politik uang di NTT. Pada tahap awal, menurut saya, perlawanan itu bisa dalam bisa dalam bentuk penolakan terhadap politik uang.
Tetapi untuk tahapan lebih lanjut, perlawanan itu harus termanifestasi dalam bentuk-bentuk yang lebih radikal. Misalnya, perlawanan terhadap ekspansi kapital baik swasta, pemerintah maupun gereja (Katolik dan Protestan) yang punya kekuatan mengeksklusi masyarakat NTT.
Perlawanan ini mungkin bisa terealisir jika dibarengi dengan munculnya figur pemimpin yang pro-rakyat yang hadir melalui “politik nir-uang”yang mampu membela masyarakat NTT dihadapan kekuatan kapital yang merusak.
Dengan cara demikian mungkin pembangunan di NTT akan menjadi lebih lancar, walau tak segampang yang diretorikakan oleh beberapa calon gubernur NTT dalam debat pertama pemilihan gubernur NTT kali ini.
Misalnya, busung lapar dan gisi buruk di NTT bisa diatasi dengan makan daun kelor; infrastruktur publik di NTT bisa diselesaikan dalam waktu 3 tahun melalui utang; pengentasan kemiskinan pendidikan entrepreneurial dan pemberian dana yang dipinjam dari dari bank dengan bunga murah tanpa anggunan; dan menyelesaikan kemiskinan di NTT dengan membangun sektor pariwisata dengan cara memberikan kesempatan setinggi-tinggi kepada para pengusaha sehingga pendapatan rakyat dan daerah bisa meningkat. Retorika-retorika ini kelihatannya manis dan cemerlang, tetapi sejatinya jauh panggang dari api bagi pembangunan di NTT hari ini.
Akhirnya, saya harus katakan bahwa saya sangat percaya pada kinerja KPK dalam menangani kasus MS. Karena itu, saya mengajak seluruh masyarakat NTT mesti mendukung kerja dan kinerja KPK sambil menunggu hasil final dari keputusan KPK terhadap MS. Penangkapan MS oleh KPK adalah pelajaran mahal bagi proses demokrasi yang baik di NTT, baik bagi mereka yang bertarung dalam pilkada maupun masyarakat yang terlibat aktif dalam menyukseskan pilkada.
Selamat menyongsong pesta demokrasi di tahun 2018 untuk semua masyarakat NTT.
1Sebab, bagi MS, kerjasama dengan dokter dari rumah sakit di Bali dan Jawa seperti Rumah Sakit Sanglah dan Sardjito terlalu mahal dan dapat memboroskan biaya pengeluaran daerah baik dalam jangka pendek maupun panjang.
2Wawancara dengan Rikus Meze (Bukan nama sebenarnya), Kupang, 16 Novemer 2015.
3Wawancara dengan Willem Siga (Bukan nama sebenarnya), Mbay, 27 Januari 2018.
4Wawancara dengan Niko Lako (Bukan nama sebenarnya), Boawae, 5 Januari 2018.
5Wawancara dengan Nanci Tida (Bukan Nama Sebenarnya), Sydney, 6 April 2018.
6Wawancara dengan Nina Toda (bukan nama sebenarnya), Melbourne, 12 Oktober 2017.
7Struktur kelas berdasarkan struktur tradisional sosial budaya Flores ini tentu berbeda dengan struktur pembagian kelas dalam Marxisme. Struktur kelas dalam budaya Flores ini lebih merupakan struktur tradisional-feudal di Flores yang sudah membatu sejak lama dalam masyarakat Flores, yang sudah jarang dibicarakan, tetapi masih dipertimbangkan dalam hal-hal khusus berkaitan dengan proses penyelenggaraan adat, perkawinan dan politik di daerah.
8Dalu adalau struktur pemerintah tradisional di bawah raja (kerajaan), yang berkembang dan berfungsi pada masa penjajahan Belanda di Manggarai. Level Dalu adalah setingkat kecamatan pada sistem pemerintahan modern di Flores hari ini.
9Wawancara dengan Maria Tidung (Bukan nama sebenarnya), Boawae, 13 Feburari 2018.
10Wawancara dengan Maria Tidung (Bukan nama sebenarnya), Boawae, 13 Feburari 2018
*) Penulis adalah mahasiswa S2 UGM Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar