Sabtu, 18 Juni 2016
Ujian Negara (UN): Guru Ahli, Sersan, Pendidikan Memiskinkan
JAKARTA (NTT Darita) - Ujian Negara (UN) bagi sebagian masyarakat, terutama kalangan ekonomi menengah ke bawah, dianggap sebagai program negara yang memiskinkan.
Sekolah Negeri milik pemerintah tidak selalu menjamin prestasi siswa, karena itu siswa lebih memilih belajar di luar sekolah. Situasi ini kemudian menciptakan munculnya lembaga bimbingan belajar (bimbel).
Alvira Chelsi, siswa SMA di sebuah sekolah negeri di Depok, Jawa Barat, mengatakan dirinya memutuskan belajar di bimbel dengan harapan dapat nilai ujian negara (UN) yang bagus.
"Pendidikan di sekolah negeri tidak lebih baik dari sekolah swasta karena guru-gurunya kurang kreatif dan jarang masuk kelas," ujar sumber dari Dinas PPO Kota Depok siang ini.
Programme for International Student Assessment (PISA) belum lama ini melaporkan jam belajar siswa di sekolah rata-rata mencapai 35-45 jam pelajaran per minggu (data di Jakarta), dimana sekitar setengah dari murid Indonesia mengikuti bimbingan belajar di luar jam sekolah.
Selain berharap dapat nilai UN yang bagus, Alvira, mengakui jika belajar di bimbel lebih menyenangkan. "Saya anggap bimbel seperti rumah kedua. Setiap hari selesai sekolah saya langsung ke tempat bimbel. Pulang ke rumah setelah jam 8 malam," cerita Alvira.
Bimbel pada umumnya mengisi kekurangan lembaga sekolah formal dalam hal memacu prestasi belajar siswa. Bimbel menyediakan materi belajar yang lebih berkualitas, disampaikan oleh guru ahli, dengan metode yang lebih kreatif dan efektif, juga memiliki gudang soal UN dari tahun ke tahun.
"Memang sih, tentor/pengajar di bimbel itu lebih cerdas, baik, dan lebih muda, maka saya lebih betah belajar di bimbel," ujar Alvira, siswa yang lebih banyak bolos dari sekolah ini.
Bimbel di Depok pada umumnya aktif menjaring siswa dengan keunggulan metode belajar mereka, termasuk metode belajar Sersan (Serius tapi santai). Banyak mata pelajaran di sekolah memang bikin banyak siswa jadi stress, jenuh, bahkan hingga dirawat di rumah sakit jiwa. Akibatnya, bimbel menjadi sangat digemari dan kebanyakan siswa merasa bimbel seperti rumah kedua.
Ibu Magda juga bercerita jika keuangan keluarganya banyak tersedot untuk putrinya karena ikut program bimbel demi kelulusan UN dan masuk perguruan tinggi negeri.
"Putri kami di SMA Negeri di Depok, dan kami bayar Rp10,8 juta untuk SPPnya untuk 3 tahun (Rp300/bulan). Masuk kelas 3 (kelas 12), anak saya ambil program bimbel dan kami harus keluarkan biaya sebesar Rp11,6 juta hanya untuk 11 bulan," paparnya.
Alvira juga mengatakan dirinya ambil program bimbel saat masuk kelas 12, tapi banyak temannya justru ambil program bimbel sejak kelas 10 (kelas 1 SMA).
Dengan skenario putri ibu Magna di atas, maka siswa SMA di sekolah negeri Depok yang ambil program bimbel sejak kelas 10 akan mengeluarkan biaya sekitar Rp45,6 juta, termasuk Rp34,8 juta biaya bimbel selama 33 bulan. Tentu ini relitas pendidikan di Indonesia yang memiskinkan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar