Sabtu, 14 Januari 2017

Nasionalisme, Radikalisme dan Ancaman Disintegrasi Bangsa

Oleh : Frans Dorelagu *)

Menyoroti ketimpangan sosial pembangunan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat yang tidak adil, berakibat kepada tumbuhnya ideologi radikal dan terbentuk paradigma sosial terhadap matinya semangat nasionalisme sebagai fondasi bangsa.

Penulis mengawali artikel ini dengan menyimak sedikit kandungan literatur sejarah Indonesia khususnya kedatangan Hindu Budha, Islam dan Kristen di bumi nusantara. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang mejemuk, bangsa yang didirikan dengan latar belakang sejarah budaya serta kepercayaan yang berbeda beda, bangsa yang didirikan melalui forum dialog yang relatif alot mengenai azas pancasila sebagai landasan negara, namun upaya penyamaan persepsi  akan senasib, sebangsa dan setanah air, akhirnya bermuara kepada kesepakatan bersama oleh para pendiri bangsa untuk menerima pancasila sebagai landasan negara yang final. Akhirnya pancasila hidup dan bertahan hingga kini sebagai nilai persatuan bangsa dan perekat perbedaan etnis, suku, ras, agama dan budaya.

Secara historis sebelum negara ini terbentuk, nusantara sudah didahului oleh kebudayaan India yang masuk pada abad ke 6 Masehi. Jawa menjadi pusat berlangsungnya kebudayaan India (sangskerta) dimana telah ditandai dengan situs sejarah kebudayaan yang berdiri kokoh hingga kini yaitu Prambanan sebagai pusat kebudayaan Hindu dan Borobudur sebagai pusat kebudayaan Budha. Sayang kedua kebudayaan ini tidak cukup lama bertahan setelah masuknya islam di jawadwipa.

Pada abad ke 9 masa khalifah Utsman telah mengirim utusan ke istana Cina, mereka menyeberangi lautan dan melintasi Asia Tenggara. Ketika utusan Utsman singgah di Asia Tenggara mereka mulai menanamkan nilai nilai islam di nusantara yang ditandai dengan mendirikan kerajaan islam pertama di Malaka. Perkembang islam sangat pesat hingga masa pra islam di jaman kerajaan majapahit. Kemudian berkembang islam yang luas di wilayah jawa. Belakangan islam menjadi kepercayaan yang dianut oleh sebagian besar masyarakat di nusantara kecuali wilayah Nusa Tenggara (Flores dan Timor)

Selanjutnya pada abad ke 16 Paus Alexander VI membagi dunia baru kepada Portugis dan Spanyol untuk melakukan pelayaran ke Asia. Pembagian dunia baru yang di kenal dengan perjanjian Tordosillas dan Saragosa (sebagai konsensus atas perang perebutan tanjung Verde) yaitu memberi mandat kepada Portugis untuk berlayar ke arah timur dan Spanyol berlayar ke arah barat. Atas dasar semboyan Gold Gospel and Glory setiap bentangan wilayah dalam pelayaran menjadi tujuan imperium dan penyebaran agama katolik. Hingga akhirnya bangsa Portugis tiba di nusantara dan menetap di Halmahera utara untuk mencari rempa rempa dan mengajarkan ajaran katolik di daerah Maluku, Flores dan Timor hingga kedatangan VOC pada abad berikutnya. Sedangkan bangsa Spanyol dibawah pimpinan Magellan dan Antonio Pigaveta pencatat kronik pelayaran menuju Filipina disekitar Tato Mindanao Timur laut dan membabtis banyak orang di sana, hingga akhirnya Magellan tewas terbunuh dalam suatu pemberontakan di Filipina.

Fakta diatas merupakan sebuah tinjauan historis yang telah memberikan sedikit pemahaman, bahwa sejarah bangsa Indonesia dimulai dengan fundamentalisme kebudayaan dan agama yang bersumber dari luar nusantara dan akhirnya menjadi sumber fanatisme masing masing bagi masyarakat penganutnya. Ini adalah fakta yang tercermin saat ini. Fundamentalisme agama menjadi begitu dominan memainkan peran atas nama keselamatan umat manusia. Agama dinilai sebagai sebuah ajaran suci (holy teaching) yang tidak boleh dicemari oleh kepentingan apapun selain tujuan ibadah. Agama hanya perlu ditempatkan pada tatanan spiritualitas dan tidak berada dalam lingkungan profan. Ensensi ajaran agama adalah memperbaharui kehidupan manusia menuju kemurnian spiritualitas iman yang utuh dengan tetap berpedoman pada nilai suci agama. Artinya agama tidak dieksploitasi untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Namun fakta kini telah berkata lain, justru agama dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan kekuasaan. Akhirnya makna agama mengalami pergeseran drastis karena sudah masuk dalam wilayah politik praktis. Walaupun secara teoritis ada korelasi erat antara politik dan agama, tetapi idealnya nilai spiritualitas agama menjadi sumber dan acuan dalam mengambil sikap dan kebijakan politik yang etis. Bukan agama menjadi serana empuk absurditas politik.

Disisi lain perbedaan kultur budaya dan ragam etnis menjadi corak tersendiri bagi bangsa Indonesia. Idealnya perbedaan  mestinya dipandang sebagai kekayaan budaya bangsa, perbedaan mestinya menjadi khasana untuk saling melengkapi, karena nilai yang terkandung dalam perbedaan adalah untuk saling mengisi kekurangan dalam ruang kehidupan manusia. Tetapi perbedaan menjadi sangat tendensius ketika dipolitisasi untuk kepentingan kekuasaan. Akibatnya perbedaan menjadi sangat sensitif dan menjadi penyuluh konflik sosial dalam masyarakat. Pancasila yang kita pahami sebagai falsafah bangsa terkesan tidak lagi mampu menanamkan ideologi perekat perbedaan, justru pancasila dipersoalkan kembali akan eksistensinya sebagai ideologi negara. Maka eksistensi pancasila berada dalam ancaman.

Kerapuhan Nasionalisme

Pengertian nasionalisme awal ditunjukan kepada sekelompok orang yang memiliki ikatan kebudayaan bahasa dan tradisi yang sama untuk hidup merdeka dengan satu tanah air. Nasionalisme pertama kali dicetuskan pada revolusi Prancis pada abad ke 18 untuk mengganyang feodalisme dan kekuasaan absolut raja. Revolusi tersebut akhirnya mengantarkan rakyat Prancis pada tatanan negara yang berbentuk republik demokrasi.

Di Indonesia semangat nasionalisme dikobarkan oleh Bung Soekarno sejak masih mahasiswa di Bandung hingga menjadi presiden. semangat nasionalisme adalah patriotisme. Oleh karena itu perlu memupuk jiwa nasionalisme warga negara untuk mencintai bangsa dan tanah air sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Sebuah bangsa tidak akan berdiri tegak tanpah kehadiran rakyat. Sesuai dengan konsep politik bahwa terbentuknya negara memiliki empat unsur penting yaitu wilayah, pemerintahan, rakyat dan kedaulatan. Salah satu unsur esensi adalah rakyat, karena rakyat adalah unsur manusia yang memiliki kemampuan lebih untuk mengatur jalannya pemerintahan negara.

Semenjak peralihan dari orde baru ke orde reformasi, tampak perubahan yang sangat signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan wajah Indonesia terutama dalam konteks kebebasan pendapat dan ekspresi  tampak sangat drastis, nilai budaya bangsa sebagai bentuk kearifan perilaku manusia terkikis oleh arus reformasi yang berlabel demokrasi. Demokrasi dipandang sebagai ideologi rasional yang layak dan pantas menjadi acuan etika moral bagi bangsa Indonesia. Namun nilai demokrasi yang sesungguhnya tidak pernah terjewantahkan dalam kehidupan bangsa. Dengan alasan demokrasi, warga bangsa menjadi militan memperjuangan kebebasan individu, kelompok dan golongan, sehingga terkesan pendegradasian nilai demokrasi universal kedalam basis nilai demokrasi privalese.

Ketika pengertian demokrasi mengalami pergeseran makna kepada kebebasan individu, kelompok dan golongan, maka hakikat nasionalisme menjadi tidak urgen, karena masyarakat bangsa telah tersekat dengan  pemahaman fundamental demokrasi sekterian. Akibatnya tumbuh radikalisme kebebasan yang mengarah kepada pemenuhan hak hak individu dan golongan tanpa menghiraukan asas kebersamaan sebagai warga bangsa. Pada titik ini makna nasionalisme terkikis dan tergerus oleh kepentingan tertentu, sehingga yang kita alami adalah krisis moral masyarakat untuk mencintai persatuan dan kesatuan bangsa. Masyarakat lebih gemar memperjuangkan kepentingan individu dan kelompok ketimbang kepentingan nasional. masyarakat lebih antusias berlombah meraih tujuan kepuasan diri ketimbang membangun kepedulian terhadap nasib bangsa. Urusan negara adalah tanggung jawab birokrasi pemerintahan, bukan tanggung jawab rakyat, oleh karena itu rakyat tidak mestinya terlibat dalam urusan  negara. Artinya masa bodoh saja, yang penting bagaimana rakyat tetap hidup walaupun negara berada dalam instabilitas keamanan yang membahayakan. Apabila nurani rakyat untuk mencintai bangsanya telah mati, maka dapat dipastikan kerapuhan semangat nasionalisme akan goyah dan tumbang.

Radikalisme

Secara umum pengertian radikalisme dipakai dalam politik untuk menerangkan suatu kemauan keras melaksanakan segala prinsip dan arahan ideologinya secara tegas dan ekstrem, dan jika tidak terlaksana, maka sangat terbuka kemungkinan untuk memaksa dengan kekerasan dan teror supaya diterima dan dilaksanakan. Definisi ini menunjukan bahwa radikalisme adalah sebuah istilah yang mengarah kepada keinginan yang kuat untuk melaksanakan tujuan dan kepentingan individu, kelompok atau golongan tertentu dengan sikap yang ekstrimis dan destruktif. Radikalisme sebagai sebuah bentuk aktivitas yang mengarah kepada instabilitas keamanan nasional, maka radikalisme perlu diawasi secara masif bila perlu dibekukan.

Mencermati fenomena sosial yang berkembang akhir akhir ini, menyadarkan kita akan semakin rapuhnya sendi sendi kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai modal persatuan dan kesatuan. Gejolak sosial yang semakin marak, tentu tidak terlepas dari ketidakpuasan masyarakat atas distribusi nilai ekonomi, nilai pendikan, nilai kemanusiaan, nilai keadilan dan lain lain sebagai pemenuhan kebutuhan utama masyarakat. Kesenjangan ekonomi menjadi penyebab utama menyulut sentiment primordial etnis. Penguasaan sektor ekonomi oleh minoritas merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri. Kesenjangan tersebut menjadi pemicu yang mendorong bangkitnya semangat mayoritas marjinal untuk menuntut kesejahteraan hidup dengan menyuarakan keadilan. Tuntutan keadilan tidak pernah kunjung datang, bahkan keadilan semakin terperangkap dalam kepentingan penguasa, akibatnya lahir gerakan radikal terhadap negara yang terkesan tidak hadir untuk rakyat terutama kepada mayoritas marjinal.

Belakangan ini masyarakat tampaknya semakin pesimistis terhadap kinerja aparatur negara, baik lembaga eksekutif legislatif maupun yudikatif. Banyak prodak kebijakan hanya sebatas memenuhi amanat konstitusi, tetapi implementasi tidak menyentu hingga jantung kehidupan masyarakat lapisan bawah di seluruh pelosok tanah air. Ketimpangan sosial ekonomi antara yang kaya dan miskin menjadi fenomena yang marak terjadi di negeri ini. Berdasarkan data statistik yang dimuat harian kompas 5 januari 2017 perbandingan angka ratio gini menunjukan secara kuantitatif orang kaya yang menguasai aset perekonomian bangsa sebesar 1 persen dari total jumlah penduduk Indonesia 250 juta jiwa, secara logika 99 persen kita tergantung kepada kebijakan ekonomi kapitalis, berarti kita butuh keterlibatan negara untuk tenggarai kesenjangan ini. Hal ini terkesan fantastis namun demikian fakta yang terjadi.

Ketimpangan sosial ekonomi akhirnya melahirkan semangat radikal golongan yang ingin menuntut perubahan fundamental diseluruh sektor kehidupan. Aksi yang dilakukan tentu lebih progresif dan mengarah ke anarkis. Dukungan dan dorongan kaum fundamentalis semakin melegitimasi perjuangan mereka untuk menuntut perubahan secara radikal. Prinsip yang kuat untuk mengubah tatanan tidak membuat galongan ini canggung terhadap kekuatan negara (power state), justru merasa tertantang untuk semakin militan menuntut diwujutkan kehendak dari perjuangan mereka. Untuk mencapai tujuan tersebut mereka tidak memikirkan kepentingan kelayak banyak dan nasib bangsa, yang terbentuk dalam perjuangan mereka adalah meraih tujuan walaupun dengan cara cara yang inkonstitusional. Ini wajah gerakan radikal yang tengah hadir di republik ini. Oleh sabab itu pemerintah harus lebih masif mencermati gerakan ini agar tidak terlampau jauh merembes dan melapukan sendi sendi persatuan dan kesatuan bangsa.

Disintegrasi Bangsa

Tujuh puluh dua tahun kita merdeka, artinya kedaulatan kita sebagai sebuah negara diakui dunia internasional. Kemerdekaan yang kita raih adalah melalui perjuangan dan pengorbanan tidak sedikit. Banyak para Pahlawan yang gugur di medan peperangan. Perjuangan untuk meraih kemerdekaan dari tangan kolonialisme Belanda selama 350 tahun dan Jepang 3.5 tahun merupakan rentang waktu yang panjang. Yang perlu kita pelajari dan telandani adalah semangat perjuangan para Pahlawan yang tidak pantang menyerah dan tidak pernah surut, sehingga mengantarkan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan secara mutlak pada 17 Agustus 1945. Menilik pada semangat perjuangan para pahlawan , kita mesti memiliki kewajiban untuk mengisi kemerdekaan Indonesia. Kita meski memiliki kewajiban dan tanggung jawan untuk mendorong pembangunan dan pemerataan kesejahteraan disegala bidang kehidupan masyarakat sehingga tercipta keadilan bagi seluruh bangsa Indonesia.

Harus diakui bahwa, gerakan separatisme yang berkembang di beberapa daerah di Indonesia merupakan cermin ketidakpuasan warga negara terhadap kebijakan pusat. Mestinya perimbangan pembangunan antara pusat dan daerah harus sejajar, sehingga pemerataan program pembangunan dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Pusat tidak hanya semata mengeksploitasi sumber daya di daerah tetapi bagaimana memperhatikan kebutuhan daerah. 72 tahun kemerdekaan yang kita raih, sebetulnya kita belum merdeka secara manusiawi, kemiskinan masih tersebar di seluruh wilayah nusantara. Data statistik januari 2017 angka kemiskinan masih bertengger di level 24 persen, dan data kemiskinan ini sebagian besar tersebar di daerah. Ini menunjukan bahwa daerah sangat rentan terhadap orientasi pembangunan. Faktor tersebut akhirnya menjadi pemicuh gerakan separatis dan radikal, karena tidak puas dengan kebijakan distribusi pembangunan antar pusat dan daerah.

Aspek lain adalah fundamentalisme agama yang mengakar kuat ketika disentil menimbulkan kobaran api amarah yang membahayakan persatuan bangsa. Ini realitas bangsa Indonesia yang kini tengah berada pada titik kulminasi disintegrasi. Oleh karena itu faktor faktor yang menyuburkan disintegrasi bangsa segera diperhatikan secara serius oleh pemerintah, dengan membenahi  radikalime, separatisme, ketimpangan pembangunan, pemerataan kesejahteraan dan peningkatan pendidikan generasi bangsa. Sehingga kita semua tetap bersatu dalam naungan atap rumah besar NKRI yang tercinta ini.

*) Penulis adalah aktivis partai politik. Menjabat Ketua Bidang Pemberdayaan Pemuda DPP Pemuda Perindo Pusat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar